Apakah Anda Percaya dengan Uji Klinis Obat-Obatan?

Uji obat obatan
Uji klinis obat 








Saat Anda sakit dan pergi ke dokter, Anda mungkin berharap bahwa obat yang diresepkan untuk Anda sudah teruji secara ilmiah dan aman untuk dikonsumsi. Namun, tahukah Anda bahwa banyak uji klinis yang dilakukan oleh para peneliti di bidang kedokteran ternyata tidak dapat dipercaya? Bahkan, ada kemungkinan bahwa beberapa penelitian yang Anda baca di jurnal-jurnal ilmiah atau media massa adalah palsu atau bermasalah.

Uji klinis adalah proses pengujian obat atau terapi baru pada manusia, untuk mengetahui apakah obat tersebut efektif dan aman. Uji klinis biasanya melibatkan ribuan peserta, dan harus mengikuti standar etika dan metodologi yang ketat. Namun, dalam praktiknya, banyak uji klinis yang tidak memenuhi standar tersebut, dan bahkan ada yang sengaja memanipulasi data atau hasilnya.

Salah satu contoh kasus uji klinis yang palsu adalah skandal Surgisphere, yang terjadi pada tahun 2020. Surgisphere adalah perusahaan yang mengklaim memiliki database besar data pasien COVID-19 dari seluruh dunia, dan bekerja sama dengan beberapa peneliti untuk menerbitkan studi-studi tentang pengobatan COVID-19. Salah satu studi yang paling kontroversial adalah studi yang menunjukkan bahwa hidroksiklorokuin, obat antimalaria yang dipromosikan oleh Presiden AS Donald Trump, tidak efektif dan bahkan berbahaya untuk pasien COVID-19. Studi ini diterbitkan di jurnal bergengsi The Lancet, dan sempat mempengaruhi kebijakan kesehatan di beberapa negara.

Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Surgisphere tidak memiliki bukti valid tentang database mereka, dan data-data yang mereka gunakan dalam studi mereka sangat meragukan. Bahkan, ada indikasi bahwa Surgisphere adalah perusahaan fiktif yang dibuat oleh seorang dokter bedah bernama Sapan Desai, yang juga menjadi salah satu penulis studi tersebut. Akhirnya, studi tersebut ditarik oleh The Lancet, dan Surgisphere pun menghilang dari dunia maya.

Skandal Surgisphere bukanlah kasus tunggal. Menurut sebuah laporan dari Nature, salah satu jurnal ilmiah terkemuka di dunia, ada banyak uji klinis lainnya yang bermasalah atau dipalsukan. Beberapa alasan di balik fenomena ini adalah tekanan publikasi, konflik kepentingan, kurangnya transparansi, dan lemahnya pengawasan. Akibatnya, banyak obat atau terapi baru yang tidak memiliki bukti ilmiah yang kuat, atau bahkan berpotensi membahayakan pasien.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat awam untuk menghindari dampak negatif dari uji klinis yang tidak dapat dipercaya? Berikut adalah beberapa tips yang bisa Anda terapkan:

  • Jangan mudah percaya dengan klaim-klaim sensasional tentang obat atau terapi baru yang belum teruji secara ilmiah.
  • Cari informasi dari sumber-sumber terpercaya dan independen, seperti jurnal-jurnal ilmiah bereputasi atau organisasi kesehatan resmi.
  • Baca secara kritis dan teliti studi-studi ilmiah yang Anda temukan, dan perhatikan metodologi, data, hasil, dan kesimpulan mereka. Jika ada sesuatu yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan fakta-fakta lain, sebaiknya Anda skeptis.
  • Jika Anda tertarik untuk menjadi peserta uji klinis, pastikan Anda mengetahui risiko dan manfaatnya secara jelas, dan memberikan persetujuan yang sadar dan sukarela. Juga, pastikan bahwa uji klinis tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik yang kompeten dan independen.

Uji klinis adalah salah satu aspek penting dalam pengembangan ilmu kedokteran dan kesehatan. Namun, kita juga harus waspada terhadap uji klinis yang tidak dapat dipercaya, yang bisa merugikan kita sebagai pasien atau masyarakat. Dengan menjadi pembaca yang cerdas dan kritis, kita bisa membantu meningkatkan kualitas dan integritas uji klinis, dan mendukung kemajuan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.

Referensi:

Nature. (2023, July 18). Medicine is plagued by untrustworthy clinical trials. How many studies are faked or flawed? https://www.nature.com/articles/d41586-023-02299-w

The Lancet. (2020, June 4). Retraction—Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19: a multinational registry analysis. https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)31324-6/fulltext

Write a comment